Twinkle-Twinkle (Bagian 3)
oleh: Andika Nugraha Firmansyah
Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Kalau saja tak ada guru yang masuk, mungkin sudah berbeda lagi.
Saya tahu betul. Angga, teman saya satu ini, bukan dari keluarga yang berada. Ayahnya kerja serabutan. Ibunya menitipkan jajan di sekolah-sekolah. Penampilannya biasa saja. Tidak mencolok dan tidak ada yang istimewa. Anak pandai dan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan teman-temannya.
Tetapi, mungkin bersekolah di sekolah rintisan internasional adalah sebuah masalah. Biaya masuk, SPP, seragam, buku paket dan iuran ini-itu yang mahal dan terus-terusan, mau tak mau memaksa orang tuanya gali lubang tutup lubang, utang sana-sini menjelang ulangan supaya anaknya bisa mendapatkan kartu ulangan. Saya mulai akrab dengannya saat kelas X, antre kartu sementara untuk penilaian tengah semester satu.
“Bud, antre minta kartu juga?” Angga yang masih terlihat mengatur nafasnya menyapa sambil menepuk pundakku. Mungkin karena ia harus berlari dari parkiran ke kantor.
“Eh, iya Ngga.”
“Rame banget ya. Kita bisa telat masuk ruang nih.”
Ia terlihat panik.
“Pertama kali minta kartu sementara ya?” tanyaku.
“Iya.”
“Pantesan. Udah santai aja. Aku udah biasa dari SMP dulu. Mendingan kamu nunggu di belakang sini sama aku daripada desek-desekan kayak gitu. Toh sama aja, tetep bakal dapet kartu kok.”
“Wah, beneran gak habis kan?”
“Iya. Kalaupun habis nanti tinggal masuk ruang aja, terus kalau ditanya soal kartu, bilang aja abis dan gak kebagian.”
“Emang boleh gitu ya?” Angga ragu.
“Pengalamanku dulu pas SMP gitu sih.”
Ia masih terlihat ragu antara maju berdesakan atau menunggu di belakang bersamaku. Bisa dimaklumi. Ia anak pandai, tak mau nilainya turun karena telat mengerjakan ulangan. Pada akhirnya Ia duduk disebelahku juga.
15 menit menunggu setiap hari selama ulanganlah yang membuat kami akrab. Juga perasaan senasib sepenanggungan. Begitu terus hingga ulangan akhir semester 1 kelas XI.
Di kelas XI, kami masih satu kelas, bahkan satu meja. Kami akrab di sekolah maupun luar sekolah. Tak jarang saya menginap dirumahnya. Mengetahui keadaan keluarganya dan beberapa kali mendapat wejangan dari Ibunya,
“Bud, titip Angga ya. Nek ono opo-opo dikandani. Soale nek dikandani wong tuone ora mempan.” Saat mendengar wejangan itu, rasanya saya juga sedang diberi wejangan.
Begitulah remaja. Lebih percaya dengan teman daripada orang tuanya. Padahal orang tuanya sudah banting tulang memberinya makan, menyekolahkan, memberi uang saku, dsb. Orang tua yang sudah lelah kerja seharian, biasanya tak mau berdebat dengan anak yang dulu diajari bicara dengan penuh kasih sayang. Biar saja, nanti juga paham sendiri ketika menjadi orang tua.
Seperti saat akhir Januari beberapa tahun yang lalu, dua minggu menjelang study tour ke Bali. Wajah Angga selalu terlihat murung saat guru dan teman-teman membahasnya. Semakin hari teman-teman semakin riuh membahas tempat duduk, barang bawaan, apa yang akan dilakukan di Bali, membahas uang saku, seragam kelas dan semacamnya. Sementara Angga, selalu diam saja.
Belakangan saya tahu, kemungkinan besar tidak bisa ikut study tour ke Bali. Ya, uang darimana? sementara SPP saja langganan nunggak.
Beberapa hari berselang. Hari Minggu awal Februari, seminggu menjelang study tour ke Bali. Saya main ke rumahnya. Niatnya untuk menghibur. Mengajaknya main PS. Tapi Angga tak ada di rumah. Masih keluar beli perbekalan untuk ke Bali. Begitu kata Ibunya sambil mengeluarkan sepeda dari dalam rumah.
“Dinteni bae Bud, coe sedelok tok.”
Saya mematikan mesin motor. Menghampiri Ibunya, lalu salim.
“Badhe ten pundi Bu?” tanya saya basa-basi.
“Meh neng Bu Kaji, Bud.”
“Oh, Nggi Bu, atos-atos.”
“Ha a, nek ora direwangi dadi buruh nyuci neng Bu Kaji, yo Angga ora biso melu study tour reng Bali. Saben dino ngrengek terus. Akune ora tego. Wong karang anak siji-sijine. Iki be Aku njaluk tulung Bu Kaji ben bayarane neng awal.”
Saya diam mematung. Serasa di ruang kosong dan melayang-layang. Tak habis pikir. Apa Angga tahu apa yang dilakukan ibunya hanya demi bisa ikut study tour ke Bali? Rela menjadi buruh cuci hanya supaya ia bisa nyambung saat ngobrol dengan teman-teman lainnya. Apa sekolahan tahu cerita yang semacam ini?
“Ibu pamit sek ya Bud. Ngko neng Bali, titip Angga ya” suara Ibu memecah keheningan sesaat.
“Nggih Bu.”
Ibu berangkat mengayuh sepedanya. Sementara Saya bergegas pergi dari rumah Angga.
Keesokan harinya, Saya berangkat sekolah mepet. Untung saja belum terlambat. Saat masuk ke kelas, teman-teman sedang bergerombol, riuh, sepertinya membicarakan study tour. Wajah Angga berseri, gembira karena bisa ikut study tour ke Bali. Wajah tanpa dosa itulah yang membuat saya langsung menghampiri dan menonjok wajahnya.
“ASU RAIMU NGGA!”
Angga terjatuh. Suara meja kursi bertabrakan. Anak perempuan berteriak. Anak kelas sebelah datang ke kelas kami. Kini menjadi sangat ramai. Guru piket datang.
Mas Andika merupakan founder dan fasilitator di Sokola Sogan. Kalian dapat mengunjungi sosial medianya di instagram @andika_enef . Kalian juga bisa mengamati kegiatan kami di Sokola Sogan. Serta mendukung kami dengan membeli merchandise di Sogan Store. Terima Kasih.