Twinkle-Twinkle (Bagian 2)
oleh: Andika Nugraha Firmansyah
Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Bagian 2
Kalian boleh sepakat boleh tidak dengan saya, bahwa sebagian besar yang saya ingat waktu sekolah dulu adalah kenangan bermain bersama teman-teman, berkelahi, cinta ditolak, dimarahi guru, berkelahi dengan sekolah sebelah karena bermain bola, taruhan bola, hinga saling ejek nama orang tua.
Banyak hal di atas masih bertahan hingga generasi sekarang. Tapi untuk hal terakhir, saat ini, saya tidak tahu saling ejek nama orang tua masih populer atau tidak di sekolah-sekolah pinggiran seperti sekolah kami. Yang saya ingat, ada teman saya yang nama Bapaknya Amin dan Ibunya Sri. Wajahnya selalu merah padam saat marah. Bahkan kata teman sebangku saya mendekati ungu karena warna dasar wajahnya hitam dengan beberapa panu di pipinya yang menyerupai peta danau Toba di Sumatera Utara.
Saya lupa nama teman saya yang nama Bapaknya Amin dan Ibunya Sri itu. Begitu juga beberapa teman-teman sekelas kami. Kami di sekolah lebih sering memanggilnya Amin. Mungkin karena kami lebih sering melafalkan nama Bapak dan Ibunya dengan semangat, gairah dan gembira ketika di kelas ketika doa pagi dan doa pulang.
Saya mencoba mengingat-ingat pelajaran yang dulu diajarkan di kelas. Seperti tanggal-tanggal penting dalam sejarah Indonesia, peristiwa sebelum kemerdekaan, tembang macapat, aksara jawa, fotosintesis, rumus luas lingkaran dan sebagainya.
Ternyata pelajaran-pelajaran itu tidak banyak yang tertinggal dalam ingatan saya.
Justru saya masih ingat saat rela bangun pukul 01.45 WIB untuk melihat liga champions. Shalat tahajud saat jeda pertandingan untuk mendoakan kemenangan klub. Dan juga supaya nasib percintaan lebih mujur.
Saat klub kalah, pagi harinya, di sekolah, teman-teman yang suka klub rival sudah duduk di depan kelas. Wajah berseri-seri dan tawa-tawa menyebalkan. Kadang ada beberapa yang sengaja lewat depan kelas sambil ngomong “Duh, bau pecundang nih!”, “Kalah kok hobi!”, “Tim gblk!”, dsb.
Hal-hal semacam ini yang membuat gairah menonton bola meningkat dan memicu adrenalin. Kadang saya marah-marah tidak jelas kepemain yang gagal mencetak gol atau melakukan blunder. Memberi saran ke pelatih lewat depan layar televisi. Saya merasa sebagian diri ada di klub. Menang ikut senang, kalah rasanya campur aduk. Tapi tidak pernah kapok untuk menonton lagi dan lagi.
Saya rasa mendukung klub bola, terutama saat kalah, mampu meningkatkan kemampuan penalaran, komunikasi dan menguji kesetiaan seorang anak laki-laki. Cuma mungkin belum ada yang mau menelitinya saja. Bagaimana tidak, otak dipaksa keras untuk mencari alasan dan membalas ejekan. Kalau terdesak dan hampir kalah debat, geser duel main PS.
Indahnya…
Oh iya, sekarang kamu lebih ingat mana:
kenangan bersama teman atau tanggal sidang pertama BPUPKI?
Kalau kamu lebih ingat kenangan bersama teman-teman, kira-kira kenapa bisa begitu ya?
Mas Andika merupakan founder dan fasilitator di Sokola Sogan. Kalian dapat mengunjungi sosial medianya di instagram @andika_enef . Kalian juga bisa mengamati kegiatan kami di Sokola Sogan. Serta mendukung kami dengan membeli merchandise di Sogan Store. Terima Kasih.