Tarian Api
Karya: Ribut Achwandi
Orang-orang memanggilku Jagur. Entah, aku tidak pernah tahu dari mana nama itu aku dapatkan. Semua berjalan secara otomatis. Tanpa rencana. Atau mungkin ini adalah rencana Tuhan? Seperti biasa, aku akan mendengar nama itu berkali-kali disebut, ketika aku menari di depan mereka, penggemarku. Ya, pekerjaanku memang sebagai penari. Tepatnya, penari akrobat. Penari di atas panggung pertunjukan sirkus. Itu aku jalani sudah lima tahun ini.
Iringan musik mulai diperdengarkan. Tepukan tangan mulai membahana. Tirai merah perlahan mulai tersingkap. Sorot lampu yang megah menyilaukan. Saatnya aku keluar. Tepukan makin bergemuruh.
“Lihat! Itu dia!” seru salah seorang dari mereka yang kemudian disusul sorak sorai.
“Jagur! Jagur! Jagur! Jagur!”
Semakin sorakan itu terdengar, aku seperti mendapatkan suntikan semangat. Aku tambah bersemangat. Seperti kesetanan. Berjempalitan. Berlarian ke sana kemari. ‘Ya, mereka pasti sedang menunggu aksi spektakulerku. Aksi puncakku,’ pikirku.
Tapi, aku tak ingin buru-buru menyudahi. Membiarkan mereka ikut bersemangat dalam penantian. Akulah penentu kapan akan dipuncaki. Sorakan itu kian membahana. Kian keras, diselingi tepukan tangan. Terdengar seperti gemuruh angin yang membadai, hingga tak lagi jelas namaku disebut. Samar-samar. Itulah saat yang aku nanti. Aku seperti dalam ekstase. Begitu menyenangkan!
“Ayo Jagur! Mana aksi spektakulermu?!” seru salah seorang dari mereka.
Aku tak lekas terpancing dengan seruan itu. Aku sengaja pancing perasaan mereka agar benar-benar puas menyaksikan aksiku.
“Jagur! Jagur! Jagur! Jagur!”
Itulah sinyal buatku. Tanda bahwa kesabaran mereka nyaris pudar. Segera aku pasang kuda-kuda. Memastikan semua tepat dalam hitunganku. Pelan mulai kukayuh pedal sepeda roda satu itu, berjalan di atas tali dengan nyala api. Di seberang aku juga harus siap-siap meloncati lima cincin api. Ditata berbaris. Begitulah kebiasaanku. Sudah sangat aku hafal. Setelah itu, aku harus bergegas meraih ayunan yang terus bergerak maju mundur. Diakhiri aksi terjun menuju matras. Aku harus terjun dengan sangat akurat.
Pelan aku mulai kayuh pedal sepeda beroda satu itu. Jilatan lidah api tak lagi terasa panas. Aku sudah biasa. Aku begitu bersemangat. Sepedaku aku gerakkan maju dengan lima putaran kayuhan pedal, lalu sedikit untuk membuat ketegangan aku mundurkan tiga putaran. Inilah drama dalam sirkus.
Orang-orang menyaksikan aksiku dengan segenap ketegangannya. Mereka terdiam. Ada juga yang menahan kengeriannya. Ada yang menutup matanya dengan tangan, tetapi ia tak benar-benar menutup penuh matanya. Masih menyisakan celah pada jari-jarinya. Ada pula yang beberapa kali memalingkan muka. Tetapi, sebenarnya ia penasaran. Aku semakin menyukai pemandangan semacam itu. Semakin membuatku ingin menciptakan ketegangan-ketegangan yang lebih seru. Aku pura-pura akan jatuh.
Ada yang menjerit. Ada pula jerit yang tertahan. Aku semakin senang. Aku sepertinya telah mempermainkan degup jantung mereka. Ketegangan adalah hal yang paling menarik. Paling asyik untuk diciptakan dan dimainkan. Karena memang kehidupan adalah sekumpulan ketegangan yang diurai melalui kaitan-kaitan peristiwa. Kejadian demi kejadian adalah pula rangkaian ketegangan-ketegangan.
Aku kembali lagi, melanjutkan perjalananku di atas utas tali berapi dengan sepeda roda satu itu, orang-orang sedikit lega. Ada yang menghela nafas lega. Ada yang terkagum-kagum. Tetapi, degup jantung mereka masih dapat aku rasa. Masih dapat aku lihat dari tempatku kini yang lebih tinggi dari mereka. Aku bisa merasakannya, tanpa mereka tahu. Dan semakin aku tahu, semakin pula membuatku senang mempermainkannya.
Sejengkal kemudian, tiba-tiba pedal sepedaku mulai macet. Oh Tuhan, ada apa gerangan. Aku mulai panik. Lidah api terus menjilatiku. Telapak kaki mulai terasa panas. Aku kian panik. Kedua tanganku terus aku rentangkan, menjaga keseimbangan. Tetapi, aku kian tegang. Aku takut. Aku belum mau mati. Aku tak mau mati konyol di atas panggung sirkus ini. Lidah api itu memanjang julurannya. Menjilat pantatku. Aku kian kepanasan. Kian panik. Aku menjerit sejadinya. Kepanasan. Sakit minta ampun.
“Aaaaaaaaaah…..!”
Tanpa sadar aku meloncat. Itu gerakan reflek. Setengah sadar, aku dengar orang-orang berteriak histeris. Panik. Tetapi, suara itu menghilang. Aku kehilangan semua kemampuanku untuk mengontrol tubuhku. Tanpa sadar aku meluncur dari ketinggian. Aku tak sanggup mengontrol luncuran tubuhku. Tangan, kaki, kepala semuanya tak sanggup lagi aku kontrol. Begitu tiba-tiba. Melesat cepat. Wuss! Seeet! Aku pejamkan mataku dalam beberapa detik. Lalu, ketika aku membuka kedua mataku, aku lihat lantai panggung tinggal berjarak 30 sentimeter. Dalam sekejap tubuhku terbanting, terpelanting. Gelap!
Dalam gelap itu, tiba-tiba aku merasakan ada yang menarikku. Menarik kalung di leherku. Lamat-lamat aku dengar suara. “Gur! Bangun Gur!” tarikan pada leher itu kian kuat. Tetapi, aku belum juga pulih. Susah bangkit.
Tarikan itu terhenti. Aku tak tahu pasti mengapa berhenti. Kala itu aku pun berusaha mengumpulkan tenaga. Menyusun kesadaranku yang terberai. Lamat-lamat cahaya matahari menembus selaput kelopak mata. Pelan aku buka mataku. Samar aku lihat sekelompok anak kecil di hadapanku. Kian jelas aku lihat, rupanya mereka memandangiku dengan tatapan aneh. Beberapa aku lihat mereka tersenyum lebar hampir tertawa. Ada pula yang cekikian menahan tawanya. Sementara tubuhku masih lemas. Susah bangkit. Aku telentang.
Seseorang kemudian mengangkat tubuhku. Meletakkanku di pelukannya. Dan baru aku sadar, ia majikanku. Orang-orang menyebut namanya Bambang. Aku sendiri tak pernah mengetahui nama lengkapnya. Hanya Bambang. Itu yang aku tahu.
Ia membopongku. Membawaku pulang. Di belakangnya ada beberapa anak buah lainnya, Budi, Juki, juga Rum.
“Jagur… Jagur. Kamu memang jagoanku,” kata Bambang sambil mengelus tubuhku yang lemah tanpa daya.
“Tapi mustinya dia nggak nggaya seperti tadi toh, Mbang,” sahut Juki.
“Maksudmu?”
“Dia bukan pemain sirkus. Eh, malah nggaya. Apa dia lupa kalau dia itu cuma….”
“Pemain ronggeng kethek, begitu? Ha!?” Bambang agak tersinggung. “Kalau bukan dia, siapa yang akan menyelamatkan kelompok ronggeng kethek kita? Kita jadi bahan obrolan, masuk koran, masuk tv karena dia, Juk!”
“Tapi apa kau lupa, dia yang bikin kaki saya korengan,” timpal Juki.
“Salahmu Juk. Kenapa kamu nggak ati-ati.”
Semua diam.
Bambang kembali memelukku. Membelai tubuhku yang masih saja lemas tanpa daya. Kudengar ia juga menyanyikan sebuah lagu. Tetapi, aku tak pernah tahu maknanya. Ya, ia memang pandai menyanyi, terutama tembang-tembang Jawa.
“Binatang itu tidak bisa disalahkan. Ia bukan makhluk berpikir,” kata Bambang.
“Kang, apa benar gara-gara insting, binatang bisa lebih jujur dibandingkan manusia?” seloroh Rum.
Bambang tertawa sejenak. “Insting itu alamiah. Tidak dibuat-buat. Jadi, binatang tak punya kepentingan seperti kita. Lalu mana letak jujur dan tidaknya?”
“Kalau begitu, binatang lebih berbahaya toh, Kang?”
“Aneh kamu ini.”
“Begini, ketika ia tahu ia dalam bahaya maka ia akan mengorbankan siapa saja, termasuk manusia atas dasar pemenuhan instingnya itu.”
“Terus?”
“Sementara manusia, biarpun ia berbahaya, masih ada kesempatan untuk membuat sebuah negosiasi. Kompromi.”
“Lantas?”
“Mesti dipikirkan, apa kita masih perlu melanjutkan ronggeng kethek ini?”
“Kenapa?”
“Dia sudah banyak memakan korban dari kita. Juki korengan, mukaku kena cakar Budi matanya hampir dicongkelnya, belum lagi yang lainnya.”
Bambang terdiam sejenak, berpikir. “Tidak. Aku tidak akan melepas Jagur.”
“Pikirkan lagi Mbang!”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Tidak!!”
“Dua hari lalu, Jagur nyaris membuat seorang anak mati ketakutan. Seminggu yang lalu, dia juga nyaris membuat seorang ibu mati tertabrak sepeda motor. Minggu sebelum-sebelumnya…. Apa semua belum cukup?”
“Jagur hanya seekor monyet Juk! Ia tidak salah. Dia hanya menuruti nalurinya!” potong Bambang.
“Apa hanya karena itu kemudian dia dinyatakan tidak bersalah?” kata-kata Rum menusuk. Bambang tak melayani. Bambang menatap tajam ke arah Juki. Pelan ia berjalan, membopongku dan membawa masuk ke dalam rumah. Aku lihat matanya berair.
“Kang, bukankah menyelamatkan nyawa manusia lebih penting dari memelihara binatang?” Rum masih mengejar. Tetapi, tak didengarkan lagi oleh Bambang.
Aku tak tahu kenapa orang-orang kini saling tuduh. Saling tuding menyalahkan. Tetapi, dari tatapan mata Bambang, aku bisa tahu ia berat melepasku. Kini, ia meletakkan tubuhku di atas ranjangnya. Merebahkanku. Aku belum pulih benar. Luka lebam dan memar tubuhku masih terasa betul. Ya, mobil itu telah membentur tubuhku dan membuat remuk. Aku lemas.
“Kau tidak salah Gur…. Ini bukan salahmu. Kau hanya seekor monyet. Bukan manusia. Watakmu adalah tulus. Dan manusia selalu berwatak culas. Selalu mencari salah. Kau tidak salah, Jagur. Kau tidak salah,” ucap Bambang lirih. Nada suaranya begitu menyayat perih. Ada sesuatu yang sungguh berat.
‘Ah, kalau saja aku tidak bertingkah saat main tadi, tentu tak separah ini masalahnya,’ pikirku. Tetapi, semua sudah telanjur. Mana mungkin aku bisa memperbaiki masa yang sudah lewat.
Bambang beranjak dari ranjang. Keluar kamar. Langkahnya gontai. Putus asa. Sesekali ia menengok ke arahku, menatapku dalam-dalam. Tak berapa lama ia kembali, duduk di dekatku. Samar aku dengar suara susunggukan. Aku tahu, ia menangis. Tapi, aku tak tahu kenapa ia menangis, siapa yang ia tangisi. Sebuah teka-teki yang tak dapat aku jawab.
“Seekor binatang sepertimu kadang lebih mulia dari seorang manusia yang paling baik, Gur. Maafkan aku, Gur,” ucapnya. Dan dalam sekelebat satu hantaman benda keras membentur kepalaku. Gelap!
Catatan:
Ronggeng kethek : topeng monyet.
Pekalongan, 28 November 2012
Nikmati cerpen lainnya dari Ribut Achwandi dalam buku Kisah Cinta Tanpa Cinta yang bisa didapatkan melalui instagram Sogan Store.