Sekolah Liar: Upaya Mobilisasi Intelektual
karya: Andika Nugraha Firmansyah
Taman Siswa dan Ordonansi Sekolah Liar
Pada masa kolonial, seperti yang telah kita pelajari, tidak semua orang dapat mengakses pendidikan. Hanya kaum priyayi dan keturunan belanda yang mendapat kesempatan untuk belajar. Sementara beban penyelenggaraan pendidikan ditanggung oleh semua masyarakat. Ki Hadjar Dewantara, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan mengungkapkan bahwa sudah selayaknya kaum-kaum pribumi yang terpelajar memiliki rasa tanggungjawab untuk ikut mencerdaskan masyarakatnya. Kemudian KHD mengadakan sebuah gerakan Mobilisasi Intelektual Nasional dengan semboyannya yang terkenal yaitu “Tiap-tiap orang menjadi guru, tiap-tiap rumah menjadi perguruan”. Bahkan dari gerakan ini beliau mengajak berbagai kalangan terdidik, termasuk santri-santri juga ikut mengajar dan menggunakan rumah-rumah warga sebagai tempat untuk belajar.
Gerakan ini dimaksudkan sebagai perlawanan, sebagai aksi protes secara diam-diam dan mendasar terhadap pemerintah kolonial yang menyelenggarakan pendidikan secara diskriminatif terhadap masyarakat. Gerakan mobilisasi intelektual ini kemudian menyebar cepat hingga ke berbagai daerah di Indonesia.
Taman Siswa mulai dianggap sebagai ancaman serius bagi pemerintahan kolonial. Kemudian diadakanlah sebuah ordonansi untuk menertibkan Taman Siswa yang dianggap liar oleh pemerintah kolonial. Mengapa pemerintah kolonial menyebutnya liar? Istilah yang disematkan ini tidak mengherankan mengingat protes-protes yang telah dilakukan oleh KHD. Bahkan beliau berpendapat bahwa pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda memiliki landasan berpikir yang terbalik. Seharusnya orang dan masyarakat Belandalah yang diberikan pencerahan. Bagi beliau, prinsip asosiasi dan evolusi dalam politik etis tidak bisa terjadi jika kebudayaan nasional tidak dihidupkan terlebih dahulu. Bangsa Indonesia dengan sejarah panjangnya (yang lebih panjang dari pada Belanda) memiliki akar kebudayaannya sendiri dan tidak boleh menyerap secara utuh budaya yang dibawa kaum kolonial. Kepatuhan terhadap peradaban baratlah yang (telah mengunci negeri ini dalam kegelapan) serakah dan korup. Dari pemikiran-pemikiran inilah mencerminkan gerakan yang dilaksanakan melalui Taman Siswa. Oleh karena ini pemerintah colonial melakukan sebuah ordonansi/penertiban melalui sejumlah aturan-aturan dalam penyelenggaran pendidikan oleh rakyat. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
Staatsblad 1920 №248: Ordonansi ini mengatur tentang pendidikan dasar di Hindia Belanda. Meskipun memberikan kebebasan pendidikan dasar bagi penduduk pribumi, kenyataannya pendidikan Belanda dijalankan di bawah pengawasan pemerintah kolonial dan sangat terbatas bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Ini mendorong pendirian sekolah-sekolah rakyat.
Staatsblad 1927 №507: Ordonansi ini melarang pendirian sekolah rakyat tanpa izin dari pemerintah kolonial. Hal ini menyulitkan pendirian sekolah-sekolah rakyat, namun, banyak sekolah liar tetap beroperasi secara sembunyi-sembunyi tanpa izin resmi.
Staatsblad 1932 №349: Ordonansi ini mengatur persyaratan untuk pendirian sekolah-sekolah, termasuk persyaratan pengawas dan guru yang memiliki lisensi. Ordonansi ini juga memberikan otoritas pemerintah kolonial untuk menutup sekolah-sekolah yang tidak memenuhi persyaratan ini. Sekolah-sekolah rakyat atau sekolah liar berusaha untuk tetap beroperasi di bawah radar, dan banyak guru mereka tidak memiliki lisensi resmi.
Aturan-aturan ini jelas membatasi gerakan Taman Siswa. Tetapi bukan berarti menghentikannya. Bahkan KHD pernah berseru, “Dengan atau tanpa ordonansi, mobilisasi intelektual harus tetap dilaksanakan.”
Ada sebuah prinsip yang dianut dalam Taman Siswa yang didalamnya menyebutkan bahwa “Meskipun di bawah politik setis, pendidikan colonial tetap lebih menguntungkan kaum kolonialis, yang anehnya dengan senang hati diterima oleh kaum priyayi dan kaum menengah. Padahal pendidikan colonial itu tidak membantu mengembangkan badan dan pikiran, tetapi semata-mata memberikan surat diploma yang memungkinkan mereka menjadi buruh. Pendidikan dalam semangat kolonial juga mencegah terciptanya masyarakat sosial, serta menghasilkan kehidupan yang bergantung kepada bangsa-bangsa barat. Keadaan ini tidak mungkin diselesaikan semata-mata dengan konfrontasi fisik melalui gerakan politik. Tapi memerlukan bibit-bibit gaya hidup yang merdeka, ditanamkan dalam jiwa rakyat melalui sistem pendidikan nasional.” Konsekuensinya, tentu penerapannya juga harus merdeka. Tidak boleh diterima bantuan dari siapapun juga jika itu berarti kekangan lahir dan batin. Tentu dengan kondisi semacam ini, Taman Siswa melakukan swasembada untuk memenuhi kebutuhannya.
Setelah 100 Tahun Taman Siswa
Kini 100 tahun lebih telah berlalu sejak berdirinya Taman Siswa pada 1922. Saya cukup terkejut saat membaca tulisan Pak Ahmad Bahruddin, yang merupakan pendiri Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Salatiga itu, menuliskan data BPS pada 2019 Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SMA di Jawa Tengah periode 2014–2018 ada di angka 59,31%. Jika di-crosscheck data di BPS, ternyata pada 2021 masih di kisaran angka yang sama 60,46%. Jika dibulatkan, artinya dari 10 anak hanya 6 anak diantaranya yang melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas. Seharusnya, jika jumlah kursi dari jenjang dasar hingga sekolah menegah ke atas sama, maka tidak ada anak yang tidak bisa sekolah. Toh kita juga sudah 78 tahun merdeka. Lalu apa yang menebabkan anak-anak ini tidak bersekolah? Apakah pendidikan saat ini belum bisa menjangkau setiap lapisan masyarakat? atau mungkin memang itu pilihan mereka untuk tidak bersekolah?
Yang menarik, berdasarkan penuturan Pak Ahmad Bahruddin, anak-anak ini bukan hanya tidak bisa sekolah, melainkan tidak mau sekolah lagi. Beliau menambahkan bahwa pendidikan di sekolah formal sudah tercerabut dari konteks kehidupan pembelajar. Siswa masih saja dianggap sebagai objek yang harus dipintarkan, yang harus diperbaiki moralitasnya. Mereka tidak diberi ruang untuk merdeka berekspresi dan berinisiatif. Sampai-sampai warna kaos kaki pun sudah ditentukan oleh sekolah.
Lalu bagaimana pendapat anda mengenai hal ini? Mari kita refleksikan bersama.
Pekalongan, 3 September 2023
Andika Nugraha Firmansyah
Tulisan ini merupakan pengantar agenda rutinan diskusi pendidikan di Sokola Sogan.
Kalian dapat ikut mendukung kami dengan membeli merchandise melalui instagram Sogan Store.