Rahasia Sepasang Sepatu
Karya: Ribut Achwandi
Sepasang sepatu itu telah menjalani kesetiaannya bertahun-tahun. Sekalipun warnanya memudar, kesetiaannya tak pernah berubah. Ia terus melindungi sepasang kaki sang kekasih dari hunjaman kerikil, juga terpaan angin dan debu jalanan. Sekalipun kulit sepatu itu tampak mulai mengelupas oleh goresan waktu, tetapi kesetiaannya tak pernah berkurang. Ia selalu menjadi teman baik, di keramaian maupun di kesunyian. Setidaknya, dengan sepatu itu Rama dapat mencukupi kebutuhan dapur juga kebutuhan-kebutuhan lain. Setidaknya, dengan sepatu itu Rama sedikit bisa mengembangkan senyum istrinya, Marta. Ya, begitu lengkap kenangan yang ditorehkan sepatu itu. Tetapi, “Mungkin saatnya, sepatu itu diganti,” batin Martha.
Ya, kata hati Martha itulah yang membawa langkahnya ke toko sepatu. Letaknya tak jauh dari rumah. Hanya beberapa ratus meter. Tetapi, niatnya untuk mengganti sepatu itu bukan berarti ingin membuangnya, meninggalkan kenangan manis yang tercipta. Sebaliknya, ia ingin mengistirahatkan sepatu itu agar tak terlalu lelah. Sudah saatnya sepatu itu menikmati indahnya kenangan yang ditorehnya selama ini.
Kini, Martha tampak sibuk memandangi sepatu-sepatu yang berjajar rapi di etalase. Mereka seolah berbicara padanya, merayunya agar memilih mereka. Tetapi, Martha tak mau buru-buru menjatuhkan pilihannya. Ia tak ingin keliru memilih.
Sekali lagi, dipandanginya satu per satu mereka. Lalu, sebentar tatapannya menerawang. Dibayangkannya dalam-dalam. Bentuk betis, kaki, tubuh, juga wajah bahkan potongan rambut lelaki yang ia cintai. Juga sepatu bututnya.
“Sepertinya ada yang sedang mencari sesuatu untuk kekasihnya,” suara ramah laki-laki separuh baya itu membuat Martha sedikit terkejut.
“Oh Pak Kasim. Bikin kaget saja,” seloroh Martha membalas keramahan laki-laki paruh baya pemilik toko itu. “Em, saya sedang mencari sepatu untuk suami saya,” jawab Martha.
Lelaki itu menyunggingkan senyum. Lalu berkata, “Kalau boleh saya tebak, pasti hari ini adalah hari spesial suami Ibu. Bukan begitu?”
Martha mengangguk, “Ya begitulah.”
“Mari Bu, ikut saya. Akan saya tunjukkan sepatu spesial untuk suami Ibu. Dia pasti suka!” laki-laki itu mengantarkan Martha ke salah satu lorong etalase. Tampak di sana beberapa model sepatu yang elegan. Martha memandanginya satu per satu dengan tatapan takjub. Sementara lelaki paruh baya itu sibuk memanjat anak tangga, mencari sepatu yang dimaksudnya. Kemudian, diraihnya sepatu yang berada di ketinggian.
“Ini. Ini yang dia suka,” kata laki-laki itu sembari menyodorkan sepatu itu kepada Martha.
Ketakjuban Martha makin memuncak manakala ia pegang sepasang sepatu itu, “Wow! Ini bagus. Sangat bagus. Dan serasi!” katanya. “Em… tetapi, bagaimana Bapak bisa tahu?” tanya Martha keheranan.
“Sudah lama saya mengenal suami Ibu. Dia orang baik. Dulu, sebelum toko sepatu ini berdiri, usaha toko roti kami bangkrut. Suami Ibu pula yang datang kepada kami. Melatih kami membikin sepatu. Jadilah, seperti sekarang ini,” tutur Pak Kasim.
“Suami saya tak pernah cerita soal itu,” seloroh Martha.
“Mungkin suami Ibu tak mau menceritakannya pada Ibu. Toh, mungkin juga tak ada gunanya diceritakan. Kebaikan tetaplah menjadi kebaikan tanpa harus diungkap,” seloroh Pak Kasim. “Dan sepatu ini, khusus saya bikin untuk suami Ibu. Untuk mengenang kebaikan suami Ibu. Terimalah,” pinta Pak Kasim.
Kata-kata Pak Kasim kali ini membuat Martha sedikit tak enak hati. Ada beban berat dalam benaknya. Sekalipun ia bangga pada suaminya, tetapi itu bukan alasan untuk begitu saja menerima pemberian Pak Kasim. Sulit rasanya bagi Martha menerimanya. Sesulit ia mengungkapkan keberatannya di hadapan Pak Kasim.
“Sudah lama sebenarnya saya ingin mengantarkan sepatu ini ke rumah. Tetapi, saya tak cukup berani. Saya takut kalau itu menyinggung perasaan. Dan kebetulan, hari ini Ibu datang kemari,” jelas laki-laki itu.
“Tapi maaf, saya…,” belum selesai dengan ucapannya itu, perkataan Martha tiba-tiba dipotong Pak Kasim.
“Saya paham. Ibu ingin memberi suami Ibu sebuah kado yang istimewa dari Ibu sendiri. Jadi, anggaplah ini pemberian saya untuk Ibu. Sebagai rasa terima kasih saya atas kebaikan suami Ibu. Mohon Ibu tidak menolaknya,” ucap Pak Kasim lembut.
Belum sempat Martha menyampaikan rasa terima kasihnya, seketika dering telepon genggam Martha menyela.
“Halo, dengan Ibu Martha?” suara dari ujung telepon di seberang.
“Iya, saya sendiri,” jawab Martha.
“Maaf, ini dari RSUD.”
“RSUD? Ada apa ya, mbak?”
“Kami bermaksud mengabarkan, bahwa suami Ibu saat ini dirawat di RSUD. Jika tidak keberatan, mohon Ibu segera datang ke RSUD.”
“Ada apa dengan suami saya, mbak? Kenapa dengan suami saya?”
“Maaf Bu, mungkin akan lebih jelas jika Ibu datang langsung ke RSUD.”
“Baik, saya ke sana.”
“Kami tunggu, ya Bu. Terima kasih, selamat siang.”
Tanpa menunggu lama, telepon itu ditutup.
Di ruang bercat serba putih itu, Martha duduk menunggu. Sementara di luar, di lorong-lorong rumah sakit itu, penuh sesak dengan suara tangis yang melengking. Suaranya membentur dinding-dinding hingga menggema. Serasa perih suara itu didengar. Serasa ada duka yang mendalam, hingga getarannya terasa memenuhi sesak dalam rongga dada Martha.
Tetapi, Martha berusaha tenang. Dalam detak jantung yang tak menentu, Martha tetap berusaha tak goyah. Sekalipun pikiran-pikiran buruknya bergentayangan di dalam benaknya. Berloncatan menggodanya. Hanya doa yang bisa menguatkannya.
“Ibu Marta?” sapa seorang lelaki berbaju serba putih.
Martha pun berdiri sejenak. Menyambut uluran tangan sang dokter. Lalu, sebentar menghela napas dan duduk kembali.
“Bagaimana keadaan suami saya, dok?” tanya Martha.
Sebentar kemudian dokter itu menghela napas. Ditatanya kata, juga sikap badannya agar tak menimbulkan kecurigaan yang berlebihan pada Martha.
“Bagaimana, dok?” desak Martha.
“Suami Ibu baik-baik saja. Tetapi, ada hal yang mesti kami lakukan demi kebaikan suami Ibu,” ucap dokter itu dengan tenang.
“Apa itu, dok?”
“Mungkin Ibu perlu membaca ini dulu,” lalu, disodorkannya kertas putih itu pada Martha. Seketika itu, pertahanan Martha runtuh. Air mata tak lagi mampu dibendungnya. Tumpah begitu saja.
“Apa tidak ada cara lain, dok?” desak Martha. “Tolong, dok. Tolong. Hari ini suami saya ulang tahun. Dan saya…,” Martha tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ia tahu, semakin ia berusaha meluapkan semua keinginannya, semakin berat pula beban yang menekannya. Semakin menyakitkan.
Sementara, dokter muda itu tak kuasa menyaksikan kenyataan itu. Ya, kenyataan bahwa di hadapannya ada seorang istri yang berharap bisa membahagiakan suaminya. Tetapi, keinginan itu harus diruntuhkan oleh kenyataan.
“Kami tahu, ini berat. Tetapi, kami tak menemukan cara lain, Bu. Maafkan, kami,” kata dokter muda itu pada Martha. “Tetapi, itu semua sangat bergantung pada Ibu. Bagaimana? Apakah Ibu bersedia?”
Martha tak lekas-lekas membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Dalam hatinya masih berlangsung pertarungan antara keinginannya itu dengan kenyataan. Sepasang sepatu dalam kotak kardus dengan balutan kertas kado itu tergolek lemas di pangkuannya. Sampai akhirnya sepatu pemberian Pak Kasim itu kehilangan daya untuk menguatkan hati Martha. Ya, tak ada pilihan lain, Martha terpaksa meneken surat itu. Ia terpaksa menelan kenyataan pahit. Bahwa sepasang sepatu pemberian Pak Kasim itu kini harus diserahkannya pada nasib. Sepatu pemberian itu selamanya tidak akan menjadi bagian hidup Rama, suami Martha.
Kini, setelah berbulan-bulan lamanya, sepatu itu tetap menjadi rahasia. Sepatu itu disimpan rapat-rapat, hingga tak ada sedikit pun kesempatan bagi suaminya untuk melihatnya. Ini dilakukan lantaran Martha tak ingin menyakiti perasaan Rama. Apalagi kedua kakinya telah hilang bersama sepatu bututnya dalam kecelakaan itu.
Di atas kursi roda itu, suaminya menerawang cakrawala senja yang dihiasi warna jingga. Lalu meluncur kata-kata, “Kenapa ya, orang-orang selalu ribut soal sepatu dan sandal. Apa mereka tak pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan sepasang kaki?” tanya suaminya.
Martha tersenyum, meski dalam hatinya menjerit. Lalu berkata, “Mungkin karena mereka pikir kehormatan itu letaknya di kaki. Bukan di hati.” Ingatannya kembali pada sepatu itu, sepatu pemberian Pak Kasim. Nyaris jatuh air matanya, tetapi buru-buru ia seka air matanya. Demi sebuah rahasia. Tentang sepasang sepatu. Juga demi kebahagiaan yang tak selalu harus diungkap.
Pekalongan, 7 Oktober 2015
Kalian dapat mendukung Sokola Sogan dengan membeli merchandise dari kami melalui instagram Sogan Store.