Picture from Pexel

Menyapa Orang Gila

Sokola Sogan
6 min readJan 3, 2024

--

Cerpen: Ribut Achwandi

Raungan mesin kendaraan bermotor memenuhi telinga. Seperti sore-sore yang lain, pertigaan jalan depan Pasar Grogolan selalu sesak. Begitu juga saat pagi, ketika orang-orang memulai hari mereka bekerja. Jalanan di depan Pasar Grogolan menjadi sangat sibuk. Tak ada tempat bagi mereka yang terburu-buru. Semua membutuhkan jalan yang sama. Kemanapun arahnya nanti.

Kulajukan sepeda motorku pelan. Sambil berburu celah di antara kendaraan-kendaraan yang saling berebut jalan. Di depan sebuah mobil bak terbuka tak bergerak. Di sisi kanan, becak menunggu kesempatan. Belakang dan depanku, nyaris rapat.

Dan begitu ada kesempatan, tak peduli siapa pun, semua akan saling mencuri kesempatan. Begitu pun aku. Tangan kananku segera memutar tuas gas motor. Sembari mengayunkan stang, mengarahkan laju motorku pada celah itu.

Tetapi, belum sampai celah itu kuraih, seorang pengendara sepeda motor menyerobot. Seketika, kaki kananku menekan tuas rem kuat-kuat, sementara tangan kanan melepas gas sambil mencengkeram rem tangan. Dan kaki kiri, kuturunkan dari pedal berlapis karet. Menjaga keseimbangan, bersiaga menahan agar sepeda motorku tak jatuh.

Pasar Grogolan memang dikenal sebagai salah satu jalur lalu lintas padat. Di kawasan ini terentang jalan yang menghubungkan kawasan selatan yang berbukit-bukit dengan kawasan kota. Orang-orang kota maupun orang-orang selatan akan melewati jalan ini untuk berbagai macam keperluan.

Di sisi kanan-kiri jalan, rumah-rumah penduduk, toko-toko, kios, dan warung tampak rapat berbanjar. Sekilas pandang, yang tertangkap oleh mata hanya dinding-dinding tembok berjajar. Hanya ada beberapa batang pohon berdiri di tepian jalan. Beberapa titik juga dijumpai lapak-lapak bertudung terpal, gerobak dengan pajangan aneka dagangan, juga angkutan kota dan becak yang berparkir menununggu penumpang.

Kawasan ini bisa dibilang tak pernah kenal lelah. Bila malam, gerobak-gerobak penjual nasi goreng dengan nyala lampu patromaks yang terang berjajar. Pun warung-warung makannya. Semua punya pelanggan. Tak satu pun yang sepi pembeli.

Dini hari, ketika para loper sayur dari Banjarnegara atau daerah-daerah pemasok sayur lain tiba, pasar pun bergeliat. Mereka yang sibuk menurunkan sayuran dan bumbu-bumbu dapur giat mencari keringat. Warung-warung makan yang biasa buka jam-jam dini sampai pagi juga ramai pembeli.

Kehidupan di sini terasa 24 jam berputar. Nyaris tak pernah berhenti. Apalagi kalau Pom Bensin yang tengah dibangun itu mulai dibuka. Mungkin saja kehidupannya akan semakin ramai. Dua puluh empat jam bisa saja tak cukup.

Aku sendiri, yang terlahir sebagai bagian dari denyut nadi Landungsari, merasa bahwa kampung lahirku adalah jantungnya kota. Sekalipun letaknya tak benar-benar di pusat. Tetapi, ia mengalirkan apa-apa yang datang dan pergi dari kota. Ia memompa segala yang dialirkan.

Ah, jalanan mulai sedikit lancar. Semua kendaraan yang semula tercekat mulai bergerak pelan. Sedikit lega. Semula napas yang hampir-hampir tertahan pun mulai plong. Aku tak mau ketinggalan. Pelan-pelan kulajukan sepeda motor. Menyisir celah-celah yang ada. Sambil sedikit demi sedikit kuarahkan stang motor menuju ke jalan yang mengarah ke pasar. Memotong jalur yang mengarah ke utara. Orang-orang dari arah selatan sebentar menghentikan kendaraan mereka. Begitu pula mereka yang keluar dari jalan menuju ke arah pasar.

Setiba di jalan menuju pasar, motorku agak kutepikan sambil terus kulajukan pelan-pelan. Dari arah depan, sepintas saja kulihat seorang lelaki dengan pakaian compang-campingnya berjalan kaki. Aku tak terlampau memperhatikannya. Pikiranku tertuju pada seorang kawan yang saat ini tengah menungguku di Sokola SOGAN. Aku tak mau ia merasa kuabaikan. Apalagi ia telah menghubungiku beberapa menit lalu. Sedang untuk mencapai Sokola SOGAN, aku membutuhkan waktu sekitar 10 atau 15 menit lamanya.

Lelaki yang tubuhnya masih tampak segar bugar dengan pakaian compang-campingnya itu kian dekat. Ia berhenti sesaat. Lalu memandangiku. Tatapannya nyalang. Semakin dalam ia menancapkan tatapan mata itu ke arahku.

Aku yang semula abai, tak lagi kuasa mempertahankan sikap abaiku. Sejurus kemudian tatapan kami saling beradu. Seketika itu pula ia mengangkat tangannya, lalu melambai-lambai ke arahku. Suaranya yang cumengkling mengucapkan salam padaku, “Assalamu’alaikum!” dibarengi anggukan dan badannya agak mencondong ke depan.

Aku pun membalas salamnya sambil melemparkan senyum padanya. “Wa’alaikumsalam,” ucapku.

Di luar dugaan, lelaki yang tak kukenal itu mengaba-abaiku. Ia lambaikan tangannya supaya kuhentikan sepeda motorku. Aku tak keberatan. Sebentar kutepikan dan kuhentikan sepeda motor. Tetapi, karena ada yang menunggu, pantatku tetap saja kulekatkan pada jok motor.

Lelaki itu mendekat. Ia menyorongkan tangan kanannya. Kusambut saja tangan itu. Dan kami berjabat tangan.

Lelaki itu tampak senang. Wajahnya dipenuhi senyuman. Pandangan matanya tampak lebih terang dari sebelumnya, saat ia berjalan kaki menyusuri jalanan. Ia juga tampak lebih tenang. Sementara aku, masih dalam ketakmengertian. Lelaki di hadapanku ini, bagiku, masih menjadi misteri. Selintas kesan, ia hanya orang gila.

Dan benar, beberapa orang di sekeliling, menatap pertemuan kami. Tatapan mereka menyiratkan keheranan. Seseorang yang aku kenal, namanya Rohim, tiba-tiba mengirim sebuah pesan lewat jari telunjuknya. Ia berdiri agak menjauh dari lelaki muda itu. Lalu, ia menunjuk ke arah lelaki aneh itu, kemudian menggerak-gerakkan jari telunjuknya dengan gerakan miring di depan jidatnya. Aku paham. Aku mengerti pesan itu.

Tetapi, aku tak mau membuat kegembiraan lelaki aneh di hadapanku ini sirna begitu saja. Ia kubiarkan saja dengan tingkahnya. Tak ada yang aneh, kecuali pakaiannya.

Dengan suara paraunya lelaki itu bicara, “Alhamdulillah, nyong bisa ketemu sampeyan. Kabare sampeyan sehat?”

“Alhamdulillah, Kang. Nyong iseh diparingi sehat. Sampeyan sehat ya?” jawabku.

Mendengar jawabanku, senyum lelaki itu kian lebar. Tarikan bibirnya membuat pipinya tampak menjulang. Tatapannya tampak makin terang, seolah menjadi tanda bahwa batinnya sedang benar-benar terguyur oleh kebahagiaan tiada tara.

Tak berapa lama kemudian, rona wajahnya sedikit mulai berubah. Menampakkan resah yang membungkus batinnya, hingga sulit baginya mengulitinya agar ia temukan lagi kemurnian batin yang lama terselubung resah.

“Ya, ngene iki Kang. Mbok nyong didungakke Kang, ben cepet waras. Ya Kang ya?” ucap lelaki aneh itu lirih.

Ucapan itu serasa seperti anak panah yang melesat dan mendarat tepat di ulu hati. Bagaimana bisa, lelaki muda yang kata Rohim gila ini mengucapkan itu? Mungkin saja ia sebenarnya tak gila. Tetapi, karena dianggap gila dan tak ada yang peduli, maka ia memilih gila atau berpura-pura gila. Barangkali saja, ia semata-mata butuh teman.

Atas permintaannya itu, sekadar melonggarkan perasaannya, kujawab saja, “Ya tak dungake, muga-muga awakmu ndang waras. Bali kaya maune maneh. Dadi wong sing migunani. Karo awakmu dhewe melu nduga nggo awakmu dhewe ra, ben Gusti Allah juga melas karo sampeyan. Ya, Kang?”

“Amin, ya Allah. Amin. Amin!” begitu ia menjawab doa yang sebenarnya pura-pura itu. Sekadar penglipur dukanya, agar tak kecewa. Dengan wajah yang berbinar-binar, ia berulang-ulang mengucapkan kata “Amin” sambil mengusap wajahnya dengan dua tangannya yang berdebu.

Kesuwun ya, Kang. Kesuwun. Tak dungake muga-muga sampeyan slamet dunya akherat,” ucapnya sebagai balasan doa.

Aku mengaminkan doa itu.

Wis ya Kang, nyong pak mlaku maneh. Ora penak karo sampeyan. Wis ya, Kang? Assalamu’alaikum!” ucapnya mengakhiri pertemuan itu. Disusul dengan jabatan tangan yang begitu erat. Seolah ia tak ingin pertemuan ini berlangsung singkat.

“Wa’alaikumsalam. Ati-ati Kang,” balasku.

Lelaki muda bercompang-camping itu lantas berlalu. Kali ini jalannya agak berbeda dengan sebelumnya. Lebih tegak dan tampak yakin. Padahal, saat sebelum saling menyapa, jalannya agak membungkuk dan pelan. Seperti ada keraguan.

Rohim, yang sejak tadi mengamati tiba-tiba mendekat. Sambil menepukkan tangan ke bahu kiri, ia bicara, “Sampeyan kok bisa kenal sama wong edan sih, Kang?”

“Mungkin karena saya juga lebih gila dari dia, Kang,” jawabku sekenanya.

Rohim hanya nyengir. Lalu, kami pun terbenam dalam tawa bersama.

Sekelebat kemudian, aku teringat kawan yang telah menungguku di Sokola SOGAN. Aku pun segera pamit dari hadapan Rohim. Tak mau membuat sahabat baikku ini kecewa, segera kulajukan lagi sepeda motorku. Membelah keramaian Pasar Grogolan, membawa serta kenangan tentang pertemuanku dengan seseorang yang entah siapa dan darimana.

Yang jelas, ia mungkin tidak lebih gila dari yang mengaku waras. Sebab, kadang kala, orang waras pun berebut pengakuan bahwa dirinyalah yang lebih waras atau paling waras di antara mereka yang mengaku waras. Lalu, untuk apa kewarasan itu?

Pekalongan, 5 Juni 2021

Dari Buku Kisah Cinta Tanpa Cinta (2022), Karya Ribut Achwandi.
Kalian bisa mendapatkan bukunya dengan menghubungi IG Sogan Store.

--

--

Sokola Sogan
Sokola Sogan

Written by Sokola Sogan

Non Formal Education and Non Profit Organization, part of Omah Sinau Sogan Foundation. Pekalongan City, Indonesia.

No responses yet