Mengintip Sekolah Ramah Anak (SRA) Saat Asesmen Sumatif Akhir Semester dan Terima Rapot
Oleh: Andika Nugraha Firmansyah
Sekilas Mengenai Sekolah Ramah Anak (SRA)
Pada 2015, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membuat Panduan Sekolah Ramah Anak (SRA). Panduan ini dibuat sebagai pegangan dalam menyelenggarakan SRA. Dalam panduannya, SRA memiliki definisi satuan pendidikan formal, nonformal dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan. Tiga hasil yang diharapkan dari teselenggaranya SRA yaitu pertama, terwujudnya sekolah yang aman dan menyenangkan bagi peserta didik karena bebas dari kekerasan antar peserta didik maupun kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, terbentuknya perilaku pendidik dan tenaga kependidikan yang berperspektif anak. Ketiga, meningkatkan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan dalam pengambilan keputusan di sekolah.
Dalam kerangka yang lebih luas, SRA merupakan salah satu indikator terwujudnya kota atau kabupaten layak anak (KLA). Yaitu kota atau kabupaten yang mempunyai sistem pembangunan basis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin hak anak. Kemudian dengan terselenggaranya KLA, diharapkan cita-cita mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud. Itulah cita-cita yang tertera dalam dokumen panduan SRA.
8 tahun semenjak diluncurkannya program ini, data lembaga pendidikan yang melakukan deklarasi penyelenggaraan SRA semakin meningkat. Data KLA pada 2014, setahun sebelum keluarnya dokumen pedoman tersebut, menyebutkan bahwa ada sekitar 264 kabupaten/kota di 34 provinsi dengan 277 sekolah yang menginisiasi menjadi SRA. Kemudian berdasarkan data dari Kemdikbud pada Februari 2019, terdapat 501.623 satuan pendidikan dari berbagai jenjang yang menyelenggarakan SRA. Peningkatan yang signifikan. Dalam pelaksanaannya terdapat 3 tahapan pengembangan SRA yaitu mau, mampu dan maju. Mau artinya memiliki komitmen untuk mewujudkan SRA dengan indikator adanya SK SRA, SK Tim SRA, Deklarasi dan papan nama menuju SRA. Mampu artinya proses memenuhi standar minimal dengan bantuan dan bimbingan dari pemerintah daerah dengan indikator diantaranya proses pemenuhan 6 komponen; pelatihan, pendampingan dan bimtek; pemantauan, evaluasi dan pelaporan SRA dan mendapat bantuan fasilitas pemda. Kemudian tahapan yang terakhir adalah maju. Artinya sudah terpenuhi semua komponen yang ada dan mampu mengimbaskan atau menjadi rujukan bagi satuan pendidikan lain.
Harapan dan Keraguan
Ditengah permasalahan yang ada saat ini, dengan domain 3 dosa besar pendidikan yang disampaikan Mas Menteri Nadiem pada awal 2022 lalu yaitu perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi, agaknya menemui sedikit harapan. Adanya program ini menjadi angin segar dalam upaya mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak. Tentu harapan-harapan muncul terhadap program ini. Begitu juga keraguan. Seperti pertanyaan, “Mengapa perlu diadakan progam, bukankah sekolah memang sudah seharusnya ramah anak?”, “Apakah dengan diluncurkannya SRA, adanya pengakuan dari pemerintah bahwa sekolah-sekolah yang sudah ada selama ini gagal mewujudkan keramahannya pada anak?”, “Kalau sekolah ramah begini, anak-anak menjadi manja dan tidak punya mental. Bagaimana jika nanti anak-anak ngelunjak, susah diatur dan tidak sopan kepada guru?”, “Paling ujungnya proyek lagi. Setelah proyeknya selesai ya sudah. Selesai juga programnya karena tidak dapat bantuan.” dan lain sebagainya.
Mungkin mudah saja menjawabnya dengan melalui tulisan, konten, seminar atau semacamnya. Atau berlindung dengan tameng ‘miskonsepsi’ seperti yang sudah marak saat ini. Tapi tetap saja, masyarakat dan pihak-pihak yang meragukan tidak bisa disalahkan karena mereka berasumsi pada pengalaman yang sudah-sudah. Mereka hanya perlu bukti melalui pendampingan. Bukti yang yang bisa mereka amati dan rasakan dampaknya secara berkelanjutan.
Masa Asesmen Sumatif Akhir Semester (ASAS) dan Terima Rapot
Saat sekolah-sekolah serentak melakukan asesmen dan kemudian terima rapot bisa jadi momen untuk meneropong sejauh mana SRA telah berdampak. Tentu butuh sudut pandang dan jarak pandang yang lebih luas dan jauh agar dapat memotret dampaknya secara utuh. Untuk melihat hal itu, kita dapat memanfaatkan rapot pendidikan yang sudah ada. Namun, supaya lebih adil, rasanya perlu juga membandingan capaian angka dan data statistik dalam rapot tersebut dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh siswa, orang tua dan sekolah swasta, yang mungkin luput dari jepretan rapot pendidikan.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi, sekolah swasta, dengan segala lika-likunya harus berjuang untuk tetap eksis ditengah-tengah persaingan dengan sekolah negeri yang sekarang tidak menarik spp kepada peserta didiknya. Dengan berbagai program unggulan yang ditawarkan, fasilitas-fasilitas disediakan, dan beragam prestasi siswa yang dipamerkan, sekolah swasta berupaya untuk meyakinkan orang tua dan anak-anak untuk mau mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Upaya promosi ini dilakukan untuk memenuhi daya tampung siswa. Bahkan tak sedikit sekolah yang berani menarget siswa sebanyak-banyaknya melebihi daya tampung. Kemudian untuk gedung, bisa berhutang ke bank untuk membangun ruang-ruang kelas. Kemudian ditahun berikutnya, kembali kejar target supaya setoran angsuran ke bank lancar dan segera lunas. Gedung baru tersedia. Fasilitas semakin baik. Siswa terfasilitasi dan berprestasi. Sekolah semakin maju. Walaupun hutang dan kejar target tiap tahunnya tidak mengapa.
Kemudian persoalan lain muncul. Ekonomi yang sulit dan belum pulih pasca pandemic, berdampak pada jumlah siswa yang menunggak pembayaran SPP atau sumbangan lainnya juga meningkat. Sekolah swasta berpikir keras bagaimana cara agar dapat menarik dana untuk kebutuhan sekolah. Saat menjelang ulangan (yang kemudian berganti istilah menjadi Asesmen Sumatif Akhir Semester) inilah yang kemudian menjadi momen untuk menagih orang tua untuk membayar tunggakan. Bahkan tak jarang siswa yang menunggak terganggu fokus belajarnya karena harus dibedakan dengan siswa yang lainnya karena menggunakan kartu sementara. Di rumah, mereka merengek, meminta orang tua untuk segera melunasi tunggakan agar bisa mengikuti ulangan dengan tenang. Maklum saja, menggunakan kartu sementara itu menyusahkan bagi siswa. Mereka harus bolak-balik setiap pagi untuk meminta kartu, stempel atau tanda tangan dari panitia ulangan atau hal lain tergantung kebijakan sekolah. Sementara itu, orang tua tetap saja berusaha keras hingga mencari hutangan supaya anaknya bisa belajar dengan tenang. Bagi sebagian anak-anak yang mampu melunasi, mereka bisa sedikit lega. Sementara sebagian lainnya pasrah dan menerima tanpa mempertanyakan kembali. Karena memang sudah begitu dari tahun ke tahun.
Bagi orang tua yang belum mampu melunasi, penerimaan rapot dijadikan sekolah untuk menagih tunggakan. Biasanya momentum inilah yang bisa menyelamatkan kondisi keuangan sekolah. Tentunya ada kebijaksanaan dari sekolah bagi orang tua yang belum mampu melunasi. Caranya dengan meminta keringanan dengan menemui kepala sekolah. Banyak juga sekolah yang memberikan keringanan. Ada juga yang melakukan negosiasi dengan titip dulu separuh dari tunggakan. Berbagai cara dilakukan sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing. Disamping itu, orang tua juga akan melakukan apapun supaya bisa melihat capaian belajar anaknya selama satu semester yang telah dilalui. Namun, bagi orang tua yang tidak sampai hati karena malu jika menghadap kepala sekolah untuk meminta keringanan, mereka memilih untuk tidak mengambil rapot anaknya. Biarlah rapot itu dititipkan di sekolah dan diambil pada saat pengambilan ijazah sekaligus pelunasan.
Dilematis
Keadaan yang demikian memang dilematis. Sekolah swasta membutuhkan dana untuk menutup biaya operasional, gaji guru honorer, dsb. Sementara orang tua yang kondisi ekonominya pas-pasan dan banyak hutang juga kebingungan. Kondisi yang semacam ini semoga saja terpotret dan dapat memperoleh solusinya dalam penerapan SRA. Sehingga sekolah tidak hanya ramah anak tetapi juga ramah dengan dompet orang tua. Walaupun mungkin akan ada komentar, “salah sendiri masuk swasta” atau “ya begitulah sekolah, sudah kewajiban orang tua membiayai”.
Pekalongan, 29 November 2023
Andika Nugraha Firmansyah
Dukung kami untuk terus ada dengan membeli merchandise Sokola Sogan di instagram Sogan Store.